Mau dengerin blog ini dalam bentuk audio? dengerin podcast kita di spotify
Baru-baru saja Indonesia dihebohkan oleh foto-foto Ghozali, seorang anak muda yang menjual selfie-nya di dalam platform OpenSea dan berhasil meraup keuntungan sebanyak Rp 1.5 miliar. Orang-orang lalu membanjiri Open Sea dengan berbagai foto makanan hingga foto koleksi KTP dengan maksud mendapatkan keuntungan yang sama. Lantas, sebenarnya apa sih NFT itu? Dan kenapa kepemilikan NFT terlalu dibesar-besarkan dan sebenarnya sia-sia.

NFT adalah kependekan dari Non Fungible Token atau token yang unik, tidak ada yang menyerupainya. Token ini berupa data digital, dan jika kita bilang data maka gambar digital, musik, game apapun bisa dibuat menjadi suatu token. Dan token ini dicatat di dalam blockchain dengan menggunakan kriptografi.
Pada prakteknya token ini diikutsertakan di dalam transaksi blockchain, sehingga token ini memiliki tanda tangan dan sidik jari digital khusus. Sehingga bisa kita bilang ini semacam sertifikat kepemilikan NFT. Tapi apakah betul adanya demikian?
Apa kegunaan NFT?
Beberapa berpendapat bahwa NFT berguna untuk
- Mempertemukan penjual (terutama seniman) dan pembeli di dalam pasar yang terdesentralisasi
- Adanya kemampuan untuk menampilkan kepemilikan dari data digital melalui kriptografi
Yang pertama menurut saya ini hal yang menguntungkan untuk NFT. Tetapi yang kedua, kepemilkan NFT sangat sulit untuk diimplementasikan, karena tidak ada mekanisme yang jelas untuk hal tersebut.
Permasalahan Kepemilikan NFT
Sebagai contoh seorang seniman membuat gambar jpeg seekor monyet. Gambar ini tidak disimpan di dalam blockchain, yang disimpan di dalam blockchain hanyalah link dari gambar monyet tersebut. Dan permasalahannya, link URL dimana gambar ini disimpan tidak memiliki fungsi hash. Sehingga data URL link ini dapat diubah sewaktu-waktu. Dan tempat dimana gambar ini disimpan biasanya hanya dijalankan oleh mesin server pribadi (VPS) Apache biasa, siapapun memiliki akses server itu atau yang memiliki domain itu bisa mengganti data, gambar, judul, deskripsi dan lain-lain.
Kamu menyukai gambar jpeg monyet tersebut, lalu kamu membayarkan gas transaksi di dalam blockchain ethereum sehingga sekarang kamu mendapatkan NFT gambar jpeg seekor monyet. Kamu pikir dengan mendapatkan NFT tersebut kamu “memiliki” gambar jpeg monyet tadi, tapi kenyatannya tidak demikian. Kamu tidak mengontrol server dari gambar tersebut,kamu tidak bisa mengubahnya, kamu tidak bisa memberikan pengaruh apa apa terhadap gambar jpeg ini. Karena yang kamu punya hanyalah catatan transaksi beserta link URL yang berisikan gambar dari monyet tadi. Catatan transaksi di dalam ledger (buku besar blockchain) itu tidak dapat diubah tetapi link tersebut disimpan di server lain dan masih dapat diubah.
Jadi kalau semisal kamu tidak bisa menghapus, merubah, memindahkan, atau menghentikan orang untuk menyalin, mengscreenshot, mendistribusikan gambar jpeg ini, bagaimana bisa kita bilang kalau kita memiliki NFT tersebut?
Seperti contohnya, baru-baru saja Twitter memiliki opsi untuk menggunakan NFT sebagai profile picture. Ada beberapa permasalahan disini, orang bisa saja menyimpan sebuah gambar jpeg dari NFT yang sudah ada dan mereka akan minting NFT tersebut lalu mengubahnya menjadi profile picture di Twitter. Jadi tidak ada yang bisa memastikan kepemilikan NFT ini.
NFT itu tersentralisasi
Disaat kamu membeli NFT, ada dua hal yang terjadi. Token tersebut dicatat di dalam blockchain akan tetapi karena ruang blok terbatas maka data dari NFT (entah itu gambar,music dsb) akan disimpan diluar dari jaringan. Dan data ini disimpan di dalam server yang tersentralisasi. Kalau server tersebut hilang, maka data tersebut juga memiliki resiko yang sama.
Selain itu server dan website yang tersentralisasi juga biasanya membutuhkan data dari user. Karena data user sangat rentan untuk disalahgunakan, bisa jadi kamu lebih beresiko untuk ditarget oleh aktor jahat dan data seperti kartu kredit, data tentang NFT mu, mungkin bisa dicuri. Pada bulan Maret 2021, berita pencurian NFT muncul. Seorang pengguna platform mengklaim telah kehilangan lebih dari 150 ribu token koleksi mereka.
Salah satu lagi berita menghebohkan Pemilik galeri seni, Todd Kramer, yang memiliki koleksi NFT berharga senilai sekitar $2,2 juta juga menjadi korban pencurian di dalam OpenSea. Kramer kemudian memohon kepada OpenSea untuk bertindak,sebagai respons OpenSea membekukan aset yang dicuri. Tetapi jika OpenSea memang mengklaim bahwa dirinya terdesentralisasi, bagaimana mereka dapat mengakses aset yang dicuri dan membekukannya?
Belum lagi menyoal profile picture di Twitter, kamu diharuskan menghubungkan profile twitter mu dengan dompet digital mu untuk mengaktifkan fitur profile picture NFT. Sehingga saat ini dompet digitalmu akan terkait dengan informasi sosial mediamu.
Lalu ada juga permasalahan dalam menjalankan node. Dalam kasus Twitter, ia tidak menjalankan Ethereum node, sehingga mereka bergantung kepada OpenSea. Akan tetapi OpenSea juga tidak menjalankan node Ethereum dan mereka bergantung kepada node Infura. Jika kita tetap harus bergantung kepada node orang lain, ini menjadi permasalahan serius karena kita tidak bisa memverifikasi sendiri tetapi harus membutuhkan pihak ketiga. Ini kebalikan dari desentralisasi.
Kendala NFT Untuk Gaming
NFT di dalam gaming pun juga hanya bisa digunakan di dalam lingkup game tersebut, kamu tidak bisa membeli NFT “senjata” di game satu dan menggunakannya di game lain. Jadi semisal kamu memiliki salah satu NFT tokoh axies, kamu tidak bisa memainkan tokoh itu di Sandbox misalnya. Lalu apa yang terjadi semisal salah satu platform gaming ini ditutup? yang tersisa hanyalah token-token tak berguna.
Token-token ini hanya bisa berguna apabila seluruh platform gaming menggunakan infrastruktur yang sama untuk memproses token tersebut antar game misalnya. Atau bagaimana semisal Marvel tiba-tiba mengeluarkan NFT Spiderman ke dalam komik Spiderman? mungkin kamu memiliki token NFT nya tetapi tokoh Spiderman tetap merupakan bagian dari hak cipta dari Marvel. Dan Komik Spiderman itu tentunya adalah milik Marvel bukan milik kalian.
Permasalahannya saat ini kita tahu bahwa tidak ada cara untuk memastikan kepemilikan NFT. Lalu yang orang bisa lakukan adalah menjual token tersebut dengan nilai yang lebih mahal ke orang lain. Dan kita tahu kemana arah ini, yaitu bubble.
Kendala Mahalnya Gas Fee NFT
Satu-satunya kegunaan NFT adalah untuk digunakan di dalam pasar spekulasi dan kalau kita bicara tentang pasar spekulasi maka selalu ada pihak yang dirugikan. Orang-orang yang terjun ke dalam NFT nantinya hanya akan ditinggalkan dengan token-token tak berguna dan dompet yang kosong (karena untuk memint NFT itu tidak murah).
Gas Fees ini juga menjadi permasalahan yang besar karena jaringan Ethereum. Gas Fees adalah biaya yang kamu bayarkan untuk menjalankan transaksi Ethereum. Di dalam Platform NFT, pembeli membayar gas fees untuk memvalidasi transaksi di jaringan blockchain melalui dompet digital mereka. Penjual juga membayar gas fees untuk “mencetak” dan menjual NFT. Harga gas fees berfluktuasi berdasarkan traffic dari transaksi di dalam blockchain, tetapi karena banyak sekali orang menggunakan blockchain ethereum (entah itu untuk NFT, transaksi token lain, transaksi ETH ataupun untuk smart contract) harga gas fees bisa melambung tinggi. Beberapa orang melaporkan mereka bisa membayar hingga $600 untuk mint satu NFT. Rata-rata, untuk memasukkan NFT, seseorang harus membayar biaya antara lain biaya minting, biaya listing dan biaya lelang.
Orang-orang yang tidak mau membayar gas fees yang mahal pada akhirnya beralih ke sidechain seperti Polygon yang menawarkan biaya minting lebih murah. Tetapi karena masih banyak orang yang menggunakan jaringan Ethereum, terkadang jika tidak berhati-hati, seseorang dapat kehilangan NFT nya jika salah menggunakan chain. Ini adalah kesalahan human error yang klasik. Belum lagi Polygon baru baru saja terkena hack dan hacker berhasil mengantongi 801,601 MATIC dan yayasan Polygon harus membayar ganti rugi tersebut.
Beberapa mungkin berpendapat bahwa NFT dilindungi oleh smart contract, tetapi pada kenyataannya smart contract tidak (atau belum) bisa memastikan hak cipta, mereka tidak bisa memperbaiki masalah hosting, belum lagi pihak ketiga seperti OpenSea sering menolak listing token walaupun token tersebut sudah kamu mint sebelumnya. Dan karena kekompleksitas hubungan antara Metamask dan OpenSea maka apabila NFT yang sudah kamu mint dihapus oleh OpenSea, ada kemungkinan NFT tersebut juga hilang di dalam dompet Metamaskmu. Karena dompet Metamask menggunakan API OpenSea untuk menampilkan NFT.
Kesimpulan
NFT saat ini tergolong masih baru dan masih banyak yang perlu dipahami. NFT sangat berguna untuk mendukung hasil karya para seniman, dimana si pembeli mendonasikan uang kepada para seniman. Akan tetapi NFT saat ini penuh dengan spekulasi dan juga kekurangan dalam hal memastikan kepemilikan NFT yang bisa berujung kepada bubble. Demam NFT saat ini hampir sama seperti demam ICO di tahun 2017. Dimana banyak tim bayangan mengklaim ide inovatif tanpa adanya proyek yang jelas dan mereka meraup jutaan dollar dari masyarakat. Apakah NFT akan bertindak sama? hanya waktu yang akan menjawabnya.
Sumber:
https://moxie.org/2022/01/07/web3-first-impressions.html
https://blog.portion.io/the-pitfalls-of-centralized-nft-platforms/
https://hackernoon.com/are-nft-marketplaces-really-decentralized